Sabtu, 09 Mei 2015

Perbandingan cyber law dan computer crime act dan council of europe



Council of Europe Convention on Cyber crime (Eropa)
Council of Europe Convention on Cyber crime telah diselenggarakan pada tanggal 23 November 2001 di kota Budapest, Hongaria. Konvensi ini telah menyepakati bahwa Convention on Cybercrime dimasukkan dalam European Treaty Series dengan Nomor 185. Konvensi ini akan berlaku secara efektif setelah diratifikasi oleh minimal 5 (lima) negara, termasuk paling tidak ratifikasi yang dilakukan oleh 3 (tiga) negara anggota Council of Europe. Substansi konvensi mencakup area yang cukup luas, bahkan mengandung kebijakan kriminal (criminal policy) yang bertujuan untuk melindungi masyarakat dari cyber crime, baik melalui undang-undang maupun kerjasama internasional.
Hal ini dilakukan dengan penuh kesadaran sehubungan dengan semakin meningkatnya intensitas digitalisasi, konvergensi, dan globalisasi yang berkelanjutan dari teknologi informasi, yang menurut pengalaman dapat juga digunakan untuk melakukan tindak pidana. Konvensi ini dibentuk dengan pertimbangan-pertimbangan antara lain sebagai berikut :
Pertama, bahwa masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama antar Negara dan Industri dalam memerangi kejahatan cyber dan adanya kebutuhan untuk melindungi kepentingan yang sah dalam penggunaan dan pengembangan teknologi informasi.
Kedua, Konvensi saat ini diperlukan untuk meredam penyalahgunaan sistem, jaringan dan data komputer untuk melakukan perbuatan kriminal. Hal lain yang diperlukan adalah adanya kepastian dalam proses penyelidikan dan penuntutan pada tingkat internasional dan domestik melalui suatu mekanisme kerjasama internasional yang dapat dipercaya dan cepat.
Ketiga, saat ini sudah semakin nyata adanya kebutuhan untuk memastikan suatu kesesuaian antara pelaksanaan penegakan hukum dan hak azasi manusia sejalan dengan Konvensi Dewan Eropa untuk Perlindungan Hak Azasi Manusia dan Kovenan Perserikatan Bangsa-Bangsa 1966 tentang Hak Politik Dan sipil yang memberikan perlindungan kebebasan berpendapat seperti hak berekspresi, yang mencakup kebebasan untuk mencari, menerima, dan menyebarkan informasi/pendapat.
Konvensi ini telah disepakati oleh Masyarakat Uni Eropa sebagai konvensi yang terbuka untuk diakses oleh negara manapun di dunia. Hal ini dimaksudkan untuk dijadikan norma dan instrumen Hukum Internasional dalam mengatasi kejahatan cyber, tanpa mengurangi kesempatan setiap individu untuk tetap dapat mengembangkan kreativitasnya dalam pengembangan teknologi informasi.

Computer Crimes Act 1997 (Malaysia)
Undang-Undang ini memidanakan berbagai macam aktivitas yang berhubungan dengan penyalahgunaan komputer. Salah satu di antaranya, perlakuan tidak diizinkannya akses ke material komputer dan tidak diizinkannya modifikasi konten komputer. Hal ini juga dimaksudkan untuk memfasilitasi investigasi bagi penegakkan Undang-Undang tersebut. Dalam keadaan tertentu, Undang-Undang yang efektif berlaku 1 Juni 2000 ini bisa memiliki dampak esktra-teritorial. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan yang tertulis di dalam Computer Crimes Act 1997. berikut adalah kutipannya :
“the provisions shall, in relation to any person, whatever his nationality or citizenship, have effect outside as well as within Malaysia, and where an offence under this Act is committed by any person in any place outside Malaysia, he may be dealt with in respect of such offence as if it was committed at any place within Malaysia”.
Yang artinya adalah “Ketentuan wajib, dalam hubungannya dengan setiap orang, apapun kewarganegaraannya atau kewarganegaraan, memiliki pengaruh di luar maupun di Malaysia, dan di mana suatu tindak pidana berdasarkan Undang-undang ini dilakukan oleh setiap orang di mana saja di luar Malaysia, ia mungkin ditangani terkait dengan tindak pidana sesuai dengan tindak pidana yang berlaku di Malaysia “.
Kalau menurut saya hal tersebut kurang efektif karena apabila Negara lain tempat dimana kejahatan tersebut dilakukan tidak memiliki hukum yang juga mengatur mengenai kejahatan telematika sebagaimana hukum Malaysia. Untuk itu, penegakan hokum berkaitan dengan kejahatan telematika harus dapat bekerja sama dalam membangun efektifitas penangan kejahatan telematika yang lintas batas Negara.
Tetapi memang Malaysia benar-benar bersunggung-sungguh dalam penanganan kejahatan di dunia maya, berikut adalah undang-undang lain yang dimiliki Malaysia selain  Computer Crimes Act :
  1. Undang-Undang Tandatangan Digital 1997
  2. Undang-Undang Hak Cipta (Amandemen) 1997
  3. Undang-Undang Telemedisin 1997
  4. Undang-Undang Multimedia dan Komunikasi 1998
  5. Undang-Undang Optical Discs
Cyberlaw di Indonesia
Cyberlaw merupakan salah satu topik yang hangat dibicarakan akhir-akhir ini di masyarakat Indonesia. Di Indonesia saat ini pada tahun 2003 telah keluar dua buah Rancangan Undang-Undang (RUU). Yang satu diberi nama: “RUU Pemanfaatan Teknologi Informasi” (PTI), sementara satunya lagi bernama “RUU Transaksi Elektronik”. RUU PTI dimotori oleh Fakultas Hukum Universitas Pajajaran dan Tim Asistensi dari Institut Teknologi Bandung (ITB) dengan jalur Departemen Perhubungan (melalui Dirjen Postel), sementar RUU TE dimotori oleh Lembaga Kajian Hukum dan Teknologi dari Universitas Indonesia dengan jalur Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
Sosialisasi sudah dilakukan dengan melakukan presentasi, seminar-seminar di berbagai daerah dengan berbagai peserta, mulai dari mahasiswa, dosen, akademik, pelaku bisnis, birokrat, dan pihak pemerintah. Acara ini biasanya ramai dengan pertanyaan, kritikan, dan masukan. Tidak hanya dalam acara presentasi saja, surat kabar dan media masa lainnya mencoba mengangkat topik Cyberlaw tanpa mencoba mengerti dahulu. Akibatnya banyak komentar-komentar dan pendapat yang melenceng. Dari pertanyaan-pertanyaan yang masuk, nampaknya dibutuhkan penjelasan dan contoh-contoh yang lebih banyak tentang berbagai aspek dari RUU ini.
Dan pada akhirnya pada tanggal 25 Maret 2008 RUU ITE telah disahkan oleh seluruh fraksi DPR RI. UU ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan hukum yang seringkali dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi, dan/atau transaksi secara elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan hukum yang dilaksanakan melalui sistem elektronik.
RUU ITE usulan Pemerintah semula terdiri 13 Bab dan 49 Pasal serta Penjelasan. Setelah melalui pembahasan pada tahap Pansus, Panja, Timus, Timsin, rumusan RUU ITE menjadi 13 Bab dan 54 Pasal serta Penjelasan. Dengan demikian terdapat penambahan sebanyak 5 (lima) Pasal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar